Kamis, 10 Juni 2010

JAUH TAPI DEKAT atau DEKAT TAPI JAUH

Kali ini bukan sekedar membalik kalimat, tetapi membalik arah kehidupan.
Nanti bukan sebuah kesimpulan, tetapi sebuah jalan keluar.
Yang jelas bukan sekedar "Jauh dekat sama saja", tetapi bisa sama bisa beda.
Saya tidak tahu dari mana harus memulai tulisan ini, semua ide dan perasaan seolah gamang menerawang terbang ke awang-awang. Sebenarnya tanpa tulisan inipun segalanya tampak telanjang bahkan tanpa riset investigasipun segala data sudah ada. Yang jelas kehidupan rakyat turun temurun semakin menurun, sedangkan pejabat dan kerabatnya semakin meningkat.



Gajah dipelupuk mata tidak tampak sedangkan semut di seberang lautan tampak, barangkali masih berlaku dalam arti amelioratifnya. Mengapa tidak, kecendrungan untuk mengingat (baca:memperhatikan) kampung halamannya dari tempat yang jauh adalah sebuah keniscayaan, tetapi bukan mustahil (baca:kebanyakan) orang tidak bisa melihat halaman kampungya sendiri.
Ketika saya berada ditempat jauh dari kampung, saya merasakan dan sering mengatakan bahwa kampung saya nun jauh di sana tetapi halaman saya memang di sini, dan ini berarti memberi perhatian yang sama kepada kampung dan halaman. Tetapi manakala saya berada di dekat bahkan dalam kampung, sangat sulit untuk mengatakan inilah kampung halaman saya sendiri, dan ini berakibat saya tidak bisa berbuat banyak kepada kampung dan halaman.

Saya tidak tahu dari mana harus memulai pekerjaan ini, semua rencana dan strategi membentur dinding. Sebenarnya tidak ada yang memaksa untuk menjalankan itu semua dan mungkin tidak ada yang membutuhkan hasilnya nanti. Yang jelas sebagian besar mereka pasrah dibalik kata berkah, sedangkan sebagian kecilnya sangat menikmati patgulipat yang kian menyekat.
Seorang Gajah komunitas pernah berpetuah “jangan pulang dulu sebelum …” barangkali tetap terjadi paling tidak untuk mahluk kecil. Bagaimana tidak, celah masih sangat kecil untuk dilalui sedangkan pintu terlalu banyak untuk dilewati dan ruangan teramat besar untuk sekedar singgah.
Ketika macan-macan kampung telah kembali untuk menyerap semua suara kampung dan kita berharap menjadi raungan yang memenuhi halaman selaparang, ternyata tidak. Mereka terlalu asyik dan enggan diusik, mereka semakin kuat dan tidak berbuat banyak kepada kampung dan halaman.

Seharusnya pendidikanlah yang dapat merubah ini semua, tetapi anehnya pendidikan mendapat porsi kue perubahan terakhir karena kue pertama dan terbesar dalam perubahan dinamika masyarakat saat ini adalah politik. Tidak seorangpun (apalagi saya) dapat memberikan jaminan bahwa pendidikan seperti ini suatu waktu akan berhasil merubah tatanan kehidupan. Tidak perlu jauh-jauh membandingkannya dengan sistem pendidikan di luar negeri yang sudah terbukti hasilnya, dibeberapa daerah saja sudah banyak yang berhasil merubah trend pendidikan khususnya untuk warga kampungnya sendiri.
Masih segar dalam ingatan kita pada dekade 90an orang Sumatera dan Kalimantan mulai menggagas Sekolah Unggulan yang sekarang outputnya sudah mengisi sebagian besar posisi di daerahnya masing-masing (bahkan di luar negeri) dan ternyata mereka banyak melakukan perubahan.
Tidak banyak perbedaan dalam pengelolaan pendidikannya kecuali indepedensi pengelolaan sumber daya pendidikan oleh pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas dan bertanggungjawab dibarengi dukungan pemerintah daerah maupun pusat.
Hanya itu yang kita perlukan. Saya hanya ingin berada di situ.

Yaah sudahlah… memang jauh ataupun dekat bisa sama ketika kita mau berbuat, tetapi bisa beda dalam cara berbuat. Kita tunggu kelanjutannya

Baca Selengkapnya......

Selasa, 26 Januari 2010

MENGHITUNG KEKUATAN DAN MENGUATKAN PERHITUNGAN

Nasib bagaikan anak ayam dalam genggaman kedua tangan di belakang badan kita, sehingga semua orang dihadapan kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi dengan ayam itu, kecuali diri kita sendiri. Seandainya semua orang menganggap anak ayam itu akan mati maka kita bisa menyelamatkannya dengan sekedar meregangkan genggaman, tetapi sebaliknya walaupun semua orang menginginkan anak ayam itu tetap hidup pun tidak akan terjadi manakala genggaman tangan kita eratkan dalam seketika. Begitulah nasip di tangan kita, walalupun hanya takdir Tuhan yang memiliki hidup dan matinya anak ayam itu tetapi genggaman tangan kitalah yang menyebabkannya.
Seorang semeton mengatakan kepada saya bahwa saat ini gumi paer kita sedang giat-giatnya mencari SDM yang akan ditempatkan diposisi-posisi strartegis (baca:posisi basah) dalam pemerintahan. Setengah tidak percaya saya bilang “ah mana mungkin” setahu saya di daerah manapun trendnya adalah team sukses. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kehandalan team sukses seorang calon akan sangat menentukan berhasil tidaknya seorang raja otonomi duduk di atas singgasana rakyatnya. Sehingga manakala sang jagoan berhasil merebut kursinya maka yang lebih berbahagia (baca: lebih berkuasa) adalah team suksesnya, sementara sang raja sibuk melayani permohonan team suksesnya (dan saya tidak akan mengatakan kalau sang raja telah melupakan kebutuhan rakyatnya).


Semula saya tidak tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang SDM menurut semeton kita ini, karena bagi saya seorang calon dan team suksesnya sudah pasti merupakan SDM yang handal di daerahnya sehingga tidak diragukan lagi kalau mereka lalu memilih SDM lainya untuk mendampinginya (baca:mengamankan posisinya). Tetapi semeton tadi malah nyerocos menjelaskan ini itu sambil menyebut si ini si itu dan menunjuk di sini di situ dengan kesimpulan SDM adalah Saudara Dan Menantu.
Kali inipun saya tidak kaget, karena bagi saya semua adalah Saudara Dan termasuk Menantu. Apa yang salah ? kata saya, kalau memang Saudara Dan Menantu itu merupakan SDM yang tepat sesuai The Right Man on The Right Job. Lagi lagi semeton niki mengatakan “The Right Man on The Right Money”. Ooo … “Tunggu dulu”, saya bilang (karena bukannya saya tidak tahu). Memang inilah jamannya demokrasi.
Di negara asalnya demokrasi (dan otonomi) dapat diterapkan dan berkembang sesuai relnya karena masyarakatnya sudah maju dan memiliki kekuatan dalam setiap perhitungan titik kehidupan dan memiliki kemampuan untuk selalu menguatkan simpul perhitungannya. Sehingga tidak ada calon yang lemah dan team sukses dari SDM, masyarakatnya tidak memilih (baca: membeo) hanya karena SDM dan sang Rajapun tidak perlu mengutamakan SDMnya, karena semuaya adalah orang-orang kuat dalam perhitungan sosial, ekonomi dan politik sehingga tidak terbeli oleh janji, tidak tersuap oleh sesuap nasi.
Lalu siapakah yang salah ? Jelas tidak ada gunanya mencari siapa yang salah, karena yang salah adalah orang yang menyalahkan orang lain maupun dirinya, dan yang benar adalah orang yang tahu siapa yang salah walaupun itu dirinya sendiri. Yang benar saja belum tentu tepat, karena yang tepat adalah orang tahu kesalahan dirinya dan memperbaikinya sehingga dia mampu membenarkan orang lain yang salah. Dan orang itu adalah orang mampu menghitung kekuatannya dan selalu menguatkan perhitungannya.
Menghitung kekuatan akan membawa kita ketempat yang benar pada waktu yang benar. Jika demikian tidak akan terjadi seorang yang memiliki kemampuan yang seharusnya berhak dan mampu menduduki sebuah jabatan tetapi tersingkir karena waktu pilkadal jagoannya kalah. Tidak akan terjadi seorang yang memiliki kemampuan tetapi masih bingung mencari titik kehidupannya dan hanya meminta jatah kue dari orang selalu dia salahkan. Maka hitunglah kekuatan kita sehingga kita dapat berdiri diatas kaki kita sendiri dengan atau tanpa fasilitas SDM maka walaupun sekecil zarrah tempat kita sudah benar pada waktu yang benar.
Menguatkan perhitungan akan mengantar kita ketempat yang lebih baik dimasa yang akan datang. Jika demikian tidak akan terjadi seorang yang mungkin mujur karena SDMnya dapat anugerah kursi basah dan begitu terdepak langsung kepak (seperti lumpuh). Tidak akan terjadi seorang yang memiliki kemampuan terus frustrasi mengahadapi kelangkaan SDMnya untuk dijadikan pijakan sebelah kaki sementara kakinya sendiri masih lengkap. Maka dengan selalu menguatkan perhitungan kita akan mampu hidup lebih baik di masa setelah demokrasi (dan otonomi) sekalipun.
Horas Meton
Guru Sasak in Sibolga

Komentar : HRJ
saya telah menghitung kekuatan saya dan menghitung ulang kekuatan saya dengan menguatkan perhitungan demi perhitungan yang telah saya lewati, sayang sekali saya tak berdaya diantara orang orang edan yang penuh perhitungan dengan strategi akal bulus.

Buaya sampai jatuh derajatnya karena berebut nyamuk dengan cecak. Daripada saya jatuh menjadi manusia edan kelas nyamuk dengan segala perhitungan yang kuat saya serahkan batang leher saya kepada Allah SWT. Semoga anda selalu bahagia semetonku sax sholeh!
12 November 2009 18:58


Baca Selengkapnya......

Kamis, 03 Desember 2009

BERILMU AMALIAH dan BERAMAL ILMIAH


Seharusnya kita tidak perlu memilah ini ilmu dunia dan itu ilmu agama jika saja semua orang yang mencari ilmu didasari dengan niat yang baik.

Semestinya kita tidak perlu mendengar ada ilmu hitam dan ada ilmu putih jika saja semua orang yang berilmu mengamalkan ilmu di jalan yang baik.

Sepertinya kita tidak perlu membedakan jurusan ini sosial dan jurusan itu eksakta jika saja semua sekolah menanamkan pola pikir ilmiah.

Namun apa dan bagaimana kenyataannya..?

Tunggu pembahasan berikutnya.. di sasak.org

Baca Selengkapnya......

Rabu, 16 September 2009

Besar di tempat Kecil atau Kecil di tempat Besar

Terkadang kita berpikir untuk menjadi orang besar manakala banyak orang besar sebenarnya menganggap dirinya kecil. Sebaliknya kita merasa masih kecil dan tetap kecil sementara orang menganggap kita sudah besar dan tetap besar. Sesungguhnya besar kecilnya seseorang tergantung kepada apa yang dapat dia laksanakan ditempat dia berada.

Terkadang orang menganggap di tempat yang kecil dia bisa menjadi besar sementara banyak yang telah berputus asa karena ditempat yang besar dia tetap dianggap kecil. Sebaliknya ada orang yang ditempat kecilpun dia tidak bisa menjadi besar manakala orang dengan mudahnya menjadi besar ditempat yang besar. Sesungguhnya besar kecilnya seseorang tergantung dari bagaimana memandang besar dan kecil tersebut.

Terkadang orang lebih merasa nyaman di tempat yang kecil terlepas dariapakah dia besar atau kecil ditempat itu. Sebaliknya ada orang yang belum puas ketika dia sudah menjadi besar ditempat yang besar sekalipun. sesungguhnya kalau kenyamanan yang kita cari maka janganlah perduli dengan besar atau kecilnya kita ditempat besar maupun kecil. Sebaliknya kalau kepuasan yang kita cari maka besar ataupun kecil tidak akan memuaskan.

selanjutnya... di lain tempat saja.
anda pilih besar atau kecil ?




Baca Selengkapnya......

Minggu, 09 Agustus 2009

GURU TANPA KAPUR

GURU :

Saking banyaknya pembicaraan tentang guru sehingga tidak satupun pembicaraan itu terekam. Saking lantangnya orang berbicara tentang guru sampai tidak satupun orang mendengar. Saking ramainya permasalahan guru sampai-sampai tidak seorangpun mengingatnya. Kata "guru" nyaris terlupakan. entah "Pahlawan tanpa tanda jasa". Entah "Masa depan suram". Entah "Tunjangan Profesi". Entah "Densus-UAN-88". Entah apalah...
Memang sudah terlalu banyak perubahan dan dinamika seorang guru sehingga tidak lagi dapat dibahas ulang.

KAPUR:
"Kuli Kapur" adalah julukan yang sempat melekat kepada guru. Entah mengapa belakangan kapur tidak pernah terdengar lagi. Seperti kata "guru" itu sendiri, kata "kapur" bukanlah topik semenarik "teroris". Dan kalau kapur sudah tidak berwarna putih semuapun tidak pernah terlintas dalam pikiran orang, bahkan seandainya kapur itu hitam, juga tidak akan merubah apapun.

GURU TANPA KAPUR :
Inilah perpaduan dua kata terlupakan yang nyaris tidak terlintas dalam setiap abjad yang mungkin tertulis bahkan sekedar bayangan angan.

Mari kita mulai sekarang....
apakah ini rencana kerja guru tanpa kapur...?
lihat lampirannya : Kalender Akademik & Promes (berBhs Indonesia)
atau berbhs.inggris : Kalender & Promes (english version)


Baca Selengkapnya......

Selasa, 21 Juli 2009

ORANG DESA MENJADI ORANG KOTA, ORANG KOTA MENJADI ORANG DESA

Seandainya anak muda jaman sekarang masih bisa menemukan acara ”matak”, “ngamet”, atau “Berelah” di setiap kampungnya tentu saja tidak sulit untuk menanamkan jiwa kegotong-royongan. Jika saja tradisi “begibung” selalu dijumpai anak-anak di setiap acara atau pesta maka tidak sulit untuk mengasah rasa kekeluargaan. Namun sekarang tradisi “matak”, “ngamet” dan “berelah” telah digilas gogo rancah dan pembakaran, dan istilah “begibung” telah termakan prasmanan dan standing party. Memang desa telah mengalami perubahan sosial religius sejalan dengan perkembangan era informasi dan teknologi, yang seolah mengikis karakteristik tersebut.

Kalau dulu semua dedare tumpah ke sawah tanpa diundang untuk matak, dengan senang hati sambil “nyaer” dan para teruna sibuk membawa padi untuk dijemur, setelah kering orang tua, teruna, bahkan anak-anak ikut begadang untuk ngamet, beberapa waktu kemudian begadang lagi untuk berelah, semuanya mengalir dengan indah dan mengasyikkan. Semuanya berjalan tanpa uang, hanya dibayar dengan makan bersama. Sungguh nilai sosial yang sangat tinggi disamping keyakinan bahwa membantu orang lain akan mendapatkan pahala/kebaikan. Sebuah paduan sosial religius yang tak akan pernah ada lagi di bumi ini.


Sekarang semua telah berganti. Bukan saja orang desa yang ramai-ramai menjadi urban, tetapi orang-orang desa pun sudah mengganti budaya mereka bak orang kota. Saat ini jangankan tetangga, anak sendirpun harus dibayar untuk membantu orang tuanya. Memang tidak ada lagi kegiatan sosial religius seperti matak, ngamet, atau berelah karena sudah ganti padi gogo rancah, tidak ada lagi palawija karena lebih mengejar tembakau. Dan mungkin hasilnya juga lebih menjanjikan. Tetapi yang sayang adalah mengapa semuanya sekarang berjalan diatas uang tanpa sedikitpun menyentuh nilai sosial apalagi religius.

Kalau saja semua orang desa yang sudah berbudaya orang kota ini juga mempunyai kondisi ekonomi seperti umumnya orang kota yang relatif mampu, maka biarlah semua diukur dengan uang, dengan harapan semuanya berpikir realistis dan strategis sehingga semua bisa bergerak maju bersama, dan ketika kemajuan bisa dicapai bersama kita bisa mengimpor tenaga kerja dari Malaysia sekalipun.

Tapi apa kenyataannya, perubahan sosial yang demikian sporadis tidak diikuti dengan perubahan kemakmuran masyarakat, jurang perbedaan semakin menganga, status sosial semakin kentara, orang-orang berbudaya kota semakin rakus menguasai desanya sementara orang desa yang tetap mendesa terpaksa menjual diri ke negara tetangga. Desa kita telah berganti wajah menjadi kota yang kejam, sementara kota menjadi semakin kejam. Siapakah mau kembali ke desa?

Belakangan muncullah Komunitas Sasak (KS) yang telah terlanjur diisi oleh orang-orang desa yang telah meninggalkan desanya yang sudah menjadi kota kecil yang individualistik dan mudah curiga, Bahkan kota kecil itu tidak dapat menerima putranya sendiri, kota kecil itu telah mempunyai orientasi sendiri dan menggunakan kekuatannya sendiri untuk mempertahankan dirinya sendiri. Lalu ke desa kemanakah KS akan tinggal ?

KS adalah sebauh rural community yang seharusnya kita artikan sebagai masyarakat yang anggota-anggotanya hidup bersama di suatu lokalitas maya, yang seorang merasa dirinya bagian dari kelompok, kehidupan mereka meliputi urusan-urusan yang merupakan tanggungjawab bersama dan masing-masing merasa terikat pada norma-norma tertentu yang mereka taati bersama. Dengan demikian sebenarnya KS adalah desa baru di wilayah lombok baru yang memiliki tatanan masyarakat baru. Para Elemen KS dulu adalah orang-orang desa yang telah pindah ke kota, namun sekarang merupakan orang-orang kota yang telah menjadi orang desa.

Sebagai komunitas orang desa maka KS tidak perlu melakukan urbanisasi ke kota apalagi ke kota kecilnya sampai suatu saat elemen-elemen KS telah benar-benar menjadi orang desa yang paham dengan kebutuhan dirinya dan kota yang akan ditempatinya. Memelihara eksistensi kedesaan sebagai elemen KS adalah sebuah kewajiban yang nantinya akan menjadi sebuah kekuatan. Belajar dan bekerja dengan semangat pedesaan nantinya akan sangat berguna untuk memutar lokalitas maya menjadi dunia nyata. Jika waktunya tiba urbanisasi KS ke kota kecilnya bukan untuk menambah deretan panjang catatan permasalahan, tetapi justru untuk merentas deretan panjang menjadi kepingan-kepingan kecil yang dapat dibagi-bagi dalam tanggung jawab bersama.

Waktu itu tidak akan tiba dan tidak akan pernah ada karena waktu tidak pernah hilang. Waktu itu tidak akan diberikan orang lain karena kitalah yang memilikinya. Sekarang kita tengah mengumpulkan ide bersamaan dengan membagi ide itu, sekarang kita adalah konseptor bahkan kaligus ekskutor. Sekarang kita ingin membangunkan orang lain sekaligus membangunkan diri kita sendiri. Dengan membangun komunitas maya ini berarti kita siap membangun desa nyata yang akan menjadi kota baru yang lebih punya harapan tanpa harus berurbanisasi atau jika perlu menjadi urban di desa sendiri.

Mari membangun desa kita

pakmansur
sasak in sibolga

Catatan base Dasan Tinggi untuk :
Matak = panen padi yang dilakukan bergotong royong oleh inak-inak dan dedare.
Nyaer = bernyanyi bersama pada saat matak supaya tidak capek dan bosan
Ngamet = mengikat padi sebelum ditaruh di lumbung, dilakukan semalam suntuk
Berelah = membersihkan sisa jerami sehabis panen, dilakukan bersama malam hari
Begibung = makan bersama pada wadah yang sama


Baca Selengkapnya......

Sabtu, 11 Juli 2009

ORANG BODOH YANG PINTAR, ORANG PINTAR YANG BODOH


Marilah kita berbagi kebodohan dan kepintaran. Saya tidak pernah menganggap orang lain itu bodoh seperti juga saya tidak akan pernah memandang orang lain itu pintar. Sebenarnya batasan bodoh dan pintar itu tidak pernah ada, yang ada hanyalah pilihan untuk menjadi orang bodoh yang pintar atau orang pintar yang bodoh. Karena kedua tipe manusia inilah dunia bisa hidup dan saling mengisi dalam kekurangan, saling menerangi dalam kegelapan dan saling memberi dalam kebersamaan. Jika saja negeri ini memiliki keduanya niscaya tidak akan ada warga pengangguran yang berharap kepada penguasa zalim.

Orang bodoh yang pinter adalah orang-orang yang beruntung sejak awal dia membawa sifat kebodohan tetapi memiliki pemikiran yang pinter untuk diri dan lingkungannya. Bukankah Henry Ford, Dell, Bill Gates, Bob Sadino, Lim Siu Liong, Tomy Suharto adalah orang-orang yang dianggap bodoh dan bangga dengan kebodohannya merupakan orang-orang yang berhasil saat ini. Beribu orang pintar menjadi bawahannya bahkan ratusan ribu keluarga orang pinter menggantungkan nasib padanya.


Jika orang bodoh males kerja maka dia akan merekrut orang-orang pintar yang rajin sebagai bawahannya, kalau dia merasa sering salah dia akan menyuruh orang pintar yang tidak pernah salah untuk mengonsep programnya, dan jika dia tidak sanggup berpikir jauh seperti insinyur maka dia akan mencari uang untuk mendanai proposal yang diajukan insinyur. Orang bodoh biasanya mudah mengambil kesimpulan sementara orang pintar banyak pertimbangan, makanya orang bodoh lebih cocok menjadi Bos dan lebih menyenangi kerja kantoran. Walhasil, orang-orang bodoh yang pintar seperti itulah yang kita harapkan mengisi kantor-kantor negeri ini, sehingga mereka pintar memikirkan dasan-dasan yang momot. Kalaupun saat ini merasa tidak beruntung karena belum memiliki kantor, maka dia akan berpikir seperti Henry Ford dan kawan-kawannya. Kalau tidak berpikir pinter atau memaksakan masuk kantor maka kota dan kantor akan berisi orang-orang yang sama yaitu bodoh yang menganggur.

Orang pintar adalah orang yang beruntung sejak dari dalam kandungan, tetapi keberuntungan itu sering membuat orang pintar terlalu asyik belajar dengan sekolahannya, ketika sekolah selesai dia merasa paling pinter sehingga dia tidak butuh pelajaran orang lain apalagi orang bodoh. Orang bodoh saja matanya selalu tertarik melihat uang sedangkan orang pinter saja matanya hanya untuk melihat lowongan pekerjaan, kalau dia lolos maka kantor-kantor akan berisi orang-orang yang pinter nganggur . Kalau dia menguasai sesuatu bukannya mengajarkan ke orang lain tetapi mempersulit orang lain, dan dia selalu menyalahkan orang lain terhadap apa yang dia sendiri tidak mampu, bahkan kalau dia menjadi guru atau maha guru dia hanya akan mengajari dirinya sendiri dalam kebodohan.

Negeri ini membutuhkan orang pinter yang bodoh yaitu orang pinter yang merasa bodoh, sehingga dia terus belajar dari orang pinter yang sukses maupun dari orang bodoh yang gagal. Dia memahami pola pikir orang bodoh sehingga dia mampu bekerja dengan orang bodoh, dia mampu mengimbangi pola pikir orang pinter sehingga dia tidak bisa dibodohi orang pinter. Walhasil, orang-orang pinter yang bodoh cocok menjadi staf dan lebih menyenangi wiraswasta, sehingga kalau dikantor dia akan memberi arah bagi bos yang bodoh, kalaupun dia akhirnya menjadi bos bukanlah karena nasib mujur, bahkan kalau dia tertinggal di kampung dia tidak akan berdiam diri. Dan kalaupun dia tidak bisa membangun kampungnya maka dia bukan merupakan beban keluarganya.

Terakhir, kalaupun kita merasa bodoh atau memang bodoh maka ubahlah gaya berpikir kita seperti orang pinter, dan kalau kita merasa pinter dan memang pinter ubahlah gaya berpikir kita supaya merasa tetap bodoh. Dunia tidak menyukai orang pinter terus tetapi lebih tidak menyukai orang yang bodoh terus. Dasan kita menginginkan orang yang mau berpikir dan lebih membutuhkan orang yang mampu berbuat, dasan kita masih memerlukan orang-orang yang masih punya ide tetapi sudah muak dengan orang-orang yang membunuh idenya sendiri.


Baca Selengkapnya......