Selasa, 21 Juli 2009

ORANG DESA MENJADI ORANG KOTA, ORANG KOTA MENJADI ORANG DESA

Seandainya anak muda jaman sekarang masih bisa menemukan acara ”matak”, “ngamet”, atau “Berelah” di setiap kampungnya tentu saja tidak sulit untuk menanamkan jiwa kegotong-royongan. Jika saja tradisi “begibung” selalu dijumpai anak-anak di setiap acara atau pesta maka tidak sulit untuk mengasah rasa kekeluargaan. Namun sekarang tradisi “matak”, “ngamet” dan “berelah” telah digilas gogo rancah dan pembakaran, dan istilah “begibung” telah termakan prasmanan dan standing party. Memang desa telah mengalami perubahan sosial religius sejalan dengan perkembangan era informasi dan teknologi, yang seolah mengikis karakteristik tersebut.

Kalau dulu semua dedare tumpah ke sawah tanpa diundang untuk matak, dengan senang hati sambil “nyaer” dan para teruna sibuk membawa padi untuk dijemur, setelah kering orang tua, teruna, bahkan anak-anak ikut begadang untuk ngamet, beberapa waktu kemudian begadang lagi untuk berelah, semuanya mengalir dengan indah dan mengasyikkan. Semuanya berjalan tanpa uang, hanya dibayar dengan makan bersama. Sungguh nilai sosial yang sangat tinggi disamping keyakinan bahwa membantu orang lain akan mendapatkan pahala/kebaikan. Sebuah paduan sosial religius yang tak akan pernah ada lagi di bumi ini.


Sekarang semua telah berganti. Bukan saja orang desa yang ramai-ramai menjadi urban, tetapi orang-orang desa pun sudah mengganti budaya mereka bak orang kota. Saat ini jangankan tetangga, anak sendirpun harus dibayar untuk membantu orang tuanya. Memang tidak ada lagi kegiatan sosial religius seperti matak, ngamet, atau berelah karena sudah ganti padi gogo rancah, tidak ada lagi palawija karena lebih mengejar tembakau. Dan mungkin hasilnya juga lebih menjanjikan. Tetapi yang sayang adalah mengapa semuanya sekarang berjalan diatas uang tanpa sedikitpun menyentuh nilai sosial apalagi religius.

Kalau saja semua orang desa yang sudah berbudaya orang kota ini juga mempunyai kondisi ekonomi seperti umumnya orang kota yang relatif mampu, maka biarlah semua diukur dengan uang, dengan harapan semuanya berpikir realistis dan strategis sehingga semua bisa bergerak maju bersama, dan ketika kemajuan bisa dicapai bersama kita bisa mengimpor tenaga kerja dari Malaysia sekalipun.

Tapi apa kenyataannya, perubahan sosial yang demikian sporadis tidak diikuti dengan perubahan kemakmuran masyarakat, jurang perbedaan semakin menganga, status sosial semakin kentara, orang-orang berbudaya kota semakin rakus menguasai desanya sementara orang desa yang tetap mendesa terpaksa menjual diri ke negara tetangga. Desa kita telah berganti wajah menjadi kota yang kejam, sementara kota menjadi semakin kejam. Siapakah mau kembali ke desa?

Belakangan muncullah Komunitas Sasak (KS) yang telah terlanjur diisi oleh orang-orang desa yang telah meninggalkan desanya yang sudah menjadi kota kecil yang individualistik dan mudah curiga, Bahkan kota kecil itu tidak dapat menerima putranya sendiri, kota kecil itu telah mempunyai orientasi sendiri dan menggunakan kekuatannya sendiri untuk mempertahankan dirinya sendiri. Lalu ke desa kemanakah KS akan tinggal ?

KS adalah sebauh rural community yang seharusnya kita artikan sebagai masyarakat yang anggota-anggotanya hidup bersama di suatu lokalitas maya, yang seorang merasa dirinya bagian dari kelompok, kehidupan mereka meliputi urusan-urusan yang merupakan tanggungjawab bersama dan masing-masing merasa terikat pada norma-norma tertentu yang mereka taati bersama. Dengan demikian sebenarnya KS adalah desa baru di wilayah lombok baru yang memiliki tatanan masyarakat baru. Para Elemen KS dulu adalah orang-orang desa yang telah pindah ke kota, namun sekarang merupakan orang-orang kota yang telah menjadi orang desa.

Sebagai komunitas orang desa maka KS tidak perlu melakukan urbanisasi ke kota apalagi ke kota kecilnya sampai suatu saat elemen-elemen KS telah benar-benar menjadi orang desa yang paham dengan kebutuhan dirinya dan kota yang akan ditempatinya. Memelihara eksistensi kedesaan sebagai elemen KS adalah sebuah kewajiban yang nantinya akan menjadi sebuah kekuatan. Belajar dan bekerja dengan semangat pedesaan nantinya akan sangat berguna untuk memutar lokalitas maya menjadi dunia nyata. Jika waktunya tiba urbanisasi KS ke kota kecilnya bukan untuk menambah deretan panjang catatan permasalahan, tetapi justru untuk merentas deretan panjang menjadi kepingan-kepingan kecil yang dapat dibagi-bagi dalam tanggung jawab bersama.

Waktu itu tidak akan tiba dan tidak akan pernah ada karena waktu tidak pernah hilang. Waktu itu tidak akan diberikan orang lain karena kitalah yang memilikinya. Sekarang kita tengah mengumpulkan ide bersamaan dengan membagi ide itu, sekarang kita adalah konseptor bahkan kaligus ekskutor. Sekarang kita ingin membangunkan orang lain sekaligus membangunkan diri kita sendiri. Dengan membangun komunitas maya ini berarti kita siap membangun desa nyata yang akan menjadi kota baru yang lebih punya harapan tanpa harus berurbanisasi atau jika perlu menjadi urban di desa sendiri.

Mari membangun desa kita

pakmansur
sasak in sibolga

Catatan base Dasan Tinggi untuk :
Matak = panen padi yang dilakukan bergotong royong oleh inak-inak dan dedare.
Nyaer = bernyanyi bersama pada saat matak supaya tidak capek dan bosan
Ngamet = mengikat padi sebelum ditaruh di lumbung, dilakukan semalam suntuk
Berelah = membersihkan sisa jerami sehabis panen, dilakukan bersama malam hari
Begibung = makan bersama pada wadah yang sama


3 komentar:

kopang mengatakan...

Yaaa,itulah transisi. Kearifan budaya lokal kita telah terkikis oleh ITE yang merasuk ke pelosok-pelosok pedesaan. Mari selaku KS berfikir, dimanapun dan kapanpun, berpikir lebih arif.
Pak Mansur...Sasak in Sibolga, mengundang saya untuk bertanya, sasak...Lombok dimana? Terima kasih....Salam Sasak.

Pak Mansur mengatakan...

Miq.. Ali. Memang sasak ada dimana-mana. Tiang dari dasan tinggi, mont.gamang, kopang laguk mangkin lek sibolga.

salam dengan kopang

Anonim mengatakan...

Mas Mansyur..begitulah realita kehidupan yang tidak bisa kita kekang.semua mengalir seperti aliran air..dan mungkin mereka akan sadar dengan sendirinya bila sudah mapan kehidupannya..mereka akan kangen kampung halamannya..

Posting Komentar