Minggu, 10 Mei 2009

Nenek Moyangku Seorang Pelaut

Baru-baru ini kita telah memperingati Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April, terlepas dari pro kontra siapakah Kartini sebenarnya saya justru teringat dengan ramainya beberapa milis 3 bulan lalu yang intinya menganggap bahwa lagu-lagu TK kita justru mengajarkan kebohongan pada anak didik. Sebut saja lagu Ibu Kita Kartini (Harum namanya... Harum atau Kartini?) lalu Nenek Moyangkan Seorang Pelaut (kalau berjalan prok..prok ... kok suara pedang panjangnya prok...prok) berikutnya Balonku ada Lima dengan warna hijua yang aneh dan sederet lagu-lagu lama yang dikritik. Sebenarnya semua berujung kepada kekecewaan banyak pihak terhadap mutu pendidikan di Indonesia.

Khusus untuk Lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut, saya mempunyai apresiasi dan analogi yang berbeda. Saya tidak tahu untuk siapa lagu ini diciptakan, dan lebih tidak tahu lagi mengapa tidak ada lagu Nenek Moyangku Seorang Petani, Pedagang atau Pegawai. Tetapi disini bukan tempatnya kita berembuk tentang itu, apalagi membuka perdebatan. Lagi pula bukan itu maksud tulisan ini dibuat. Tanpa bermaksud memposisikan suatu profesi, tulisan ini hanyalah sebagai tambahan renungan buat menambah ruang pendekatan dalam membelajarkan diri kita terlebih kepada siswa .
PELAUT : Masyarakat yang Beruntung. Pelaut terbiasa dengan spekulasi tanpa perencanaan yang “njelimet” dan panjang apalagi analisis SWAT, tinggal siapkan perangkat, lihat cuaca, berangkat sore pulang pagi dengan sekeranjang ikan segar. Dijual ke pasar lalu minum-minum di kedai kopi. Nanti kalau kantong terasa kurang berangkat lagi. Tidak pernah seorang pelaut memberi makan ikan dilaut apalagi menebar benihnya terlebih memelihara laut, tiba-tiba saja mereka panen. Paling sialnya tangkapan mereka sedikit, tetapi mereka tidak merasa rugi, karena tidak modal, waktu dan tenaga yang telah dikorbankan. “Besok kita pasti dapat banyak” katanya. Bukan berpikir bagaimana prosesnya supaya dapat banyak.
PETANI : Masyarakat yang Bekerja. Petani tidak mengenal spekulasi, semua harus diperhitungkan, dana, waktu , lahan, cuaca, pasar dan sekelompok masalah lainya, dari mulai benih sampai pemasaran. Bahkan analisis SWAT saja tidak cukup, bahkan walaupun petani sudah merencanakan sagala sesuatunya dengan matang, merekapun masih berharap adanya keberuntungan. Tanpa itu semua maka tidak mungkin panen dengan hasil yang baik. Gampangnya petani harus merencanakan dengan baik, memelihara dengan baik, dan panen sesuai waktunya, barulah akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Dan semua itu berlangsung dalam jangka waktu minimal 3 – 6 bulan.
Nah sekarang kita bisa mengaku, kita keturunan siapa, murid-murid kita keturunan siapa. Hal ini akan nampak dari cara hidup masyarakat kita dan sangat erat kaitanya dengan cara belajar masyarakat (baca: siswa) kita, dan tentunya kita harus siap-siap dengan metode yang jitu untuk membelajarkan kedua garis keturunan yang sangat berbeda tersebut.
Dalam skala yang lebih besar, mungkinkah keturunan itu mempengaruhi kinerja bangsa kita ? Benarkah Nenek Moyangku Soerang Pelaut ? Lalu bagaimana peran kita sebagai guru ?


2 komentar:

guru sebrang mengatakan...

berarti kalao guru di wilayah pantai, model muridnya kebayakan tipe nelayan pak?

Pak Mansur mengatakan...

Kira2 gitulah pak, tapi jangan salah banyak juga anak nelayan yang pola pikirnya kanyak anak petani, dan anak petanipun pasti ada yang gayanya kayak nelayan atau pedagang

Posting Komentar